Monday, 1 August 2016

Belajar Meningkatkan Etos Kerja

Belajar Meningkatkan etos Kerja

 Pada Saat ini Indonesia dibanjiri produk industri hi-tech sampai produk tradisional/pertanian. Akademisi Hi-tech kita hanyalah menjadi corong "Marketing Agent/sales" produk negara lain.

 Mereka menggelar seminar-seminar, mempertunjukkan kegunaan dan manfaat Hi-tech. Tidak disadari mereka itu hanyalah sedang  menjadi "Sales" promosi produk Hi-tech orang/Negara lain, karena seminarnya hanya membicarakan pentingnya Hi-Tech dan cara mengoperasikannya. Sangat sering terdengar "pentingnya penguasaan IT dalam bekerja; Tidak boleh gagap IT". 

Akan tetapi, jarang sekali terdengar "Mari belajar membuat/memproduksi alat IT". Teman penulis pun, dosen dan mahasiswanya baru bisa mendemokan dan mempraktekkan/melatih pemuda di beberapa desa untuk "Merakit alat elektronik".  Belum dapat membuat chip-chip, komponen semi conductor.


Pada tahun 1997 Malaysia sudah memiliki Cyberjaya, kawasan industry yang dirancang akan menjadi seperti silicon valley di Amerika.  Lembah-Silicon[1] tempat pusat  trafik teknologi informatika.  Jangankan oleh negara maju di Eropa dan Amerika, oleh adik kita pun (Malaysia) kita agak tertinggal.  

 Tidak heran jika pidato Obama di Universitas Cairo menyebutkan :
“Countries like Japan and South Korea grew their economies enormously while maintaining distinct cultures.  The same is true for the astonishing progress within Muslim-majority countries from Kuala Lumpur to Dubai.  In ancient times and in our times, Muslim communities have been at the forefront of innovation and education….”

Kita iri dan marah kepada Obama yang menentukan batas Timur muslim adalah Malaysia (Kuala Lumpur), padahal kita “muslim” punya kota Meroke di sebelah Timur Indonesia (di pulau Irian) dan Morocco di sebelah Barat (di Afrika Barat). 

Kenapa Indonesia tidak disebut-sebut oleh Obama dalam pidatonya ? Kita harus introspeksi kenapa Barat lebih mengenal Malaysia daripada Indonesia. Demikian juga kenapa IIUM (International Islamic University) berada di Malaysia, dan kenapa OKI (Organisasi Konferensi Islam) mendirikan Komisi sains dan technologi-nya di Islamabad (Pakistan).

Kebikajan pemerintah Jepang dalam restorasi adalah mendahulukan membangun etos kerja bukan “akademik”

Etos kerja yang ditanamkan oleh Jepang dalam kebangkitan Restorasi kepada bangsanya/rakyatnya sulit ditiru oleh kita. Seyogianya etos kerja ini ditanamkan sejak di saat pendidikan. Akan tetapi kebanyakan jajaran pendidik kita yang justru memberikan contoh yang tidak menunjang.


            Pada lembaga pendidikan non Kemendikbud (dahulu) ada yang mewajibkan apel pagi seluruh pegawai harus ikut apel sebelum pk. 7 (pk. 6.45).  Hanya 10-15 menit apel dipimpin oleh unsur pimpinan. Sebelum pulang pk 13.45 apel pulang (6 hari kerja). 

Di lembaga pendidikan tersebut Pegawai yang pagi pagi tertinggal apel tidak bisa masuk barisan. Jangankan tidak masuk kerja, Pegawai yang tertinggal apel saja sudah merasa salah dan  merasa malu oleh rekan dan apalagi oleh atasan.

            Pagi pagi setelah apel dosen yang tidak terjadwal ke kelas melakukan pekerjaan tambahan (sebagai wadek, Kepala laboratorium/perpustakaan/studio/greenhouse/kebun praktek, dll.) Dosen yang tidak mendapat tugas tambahan melakukan apa saja di meja kerjanya (hadir pagi meskipun tidak ada jadwal ke kelas). 

Itu etos kerja dosen di perguruan tinggi non- kemendiknas/non-Kemenang, cara kerja itu dilihat oleh mahasiswa dan mahasiswa pun mudah mendapatkan pelayanan karena dosen ada hadir sejak pagi. Karakter mahasiswa dan lulusan terlatih di kampus dengan melihat karakter civitas akademika di kampus.

              Pada pertengahan tahun 1980an itu sudah mulai ada bantuan tenaga dosen (DPK) dari lingkup Kemendikbud. Mulailah banyak dosen Kemendiknas. Ternyata cara hadir kerjanya berbeda, mereka tidak hadir apel pagi demikian juga apel siang, mereka hanya datang pada saat ada jadwal masuk tugas kuliah. 

Mereka berkilah, tugas kami mengajar., dan untuk mengajar yang baik "katanya" kami harus baca buku, membuat persiapan mengajar dll. yang dapat/harus dikerjakan di luar kampus/Kantor.  Meskipun di Sk nya DPK penuh di PT itu.  

Mereka menambahkan di PT negeri tempat kamu kuliah dulu pun demikian cara kerjanya. Mulailah dosen2 dari PT itu, yang tidak mendapat tugas tambahan , terpengaruh meniru dosen DPK tersebut.

Melihat kondisi ini, siapa yang salah, salah sistem yang sedang di pakai, "Bagaimana akan menghasilkan produk lulusan yang memiliki etos kerja yang bersemangat sejak pagi, jika jajaran pendidiknya begini, yaitu datang hanya pada saat ada jadwal ke kelas. sedang jika tidak ada jadwal berkilah melakukan "persiapan tri dharma" di luar kampus, Apa benar... wallahu 'alam.


Bersemangat/bekerja di waktu pagi itu mendapat pujian dari berbagai kultur. Orang Inggris bilang 'Good beginning is a half done = awal yang baik adalah setengan kesuksesan".  Ulama (nilai Islami) menyebutkan " shobahul naum.....fakru" Tidur pagi hari hari itu mendatangkan kefakiran.


Itu kondisi sebelum di jajaran pendidikan berubah seperti sekarang ini. Sejak dicanangkannya sertifikasi dengan sistem LKD-BKD nya, dan apalagi dengan wajib finger printnya terjawab sudah kritik saya.

Tentu bukan karena saya mengutarakan hal itu di penataran/latihan para guru yang diselenggarakan  suatu Fakultas di PT ini. Akan tetapi mungkin masukan dari Universitas Indonesia atau dari Dr. Keba Moto yang berada di UI yang bicara di Kemdikbud, sehingga cara kerja di Jajaran Pendidikan berubah.

Apel pagi yang diselenggrakan dulu, sekarang di Jajaran
Pendidikan ada "Finger print" , tujuan nya sama yaitu menghadirkan pegawai sejak pagi, bukan semata melegalkan ...Uang Makan".
Membina dan meningkatkan etos kerja.

[1]The planned town, which officially opened in 1997, is now trying to remodel itself as a testbed for smart city innovation (Nicole Kobie, 2016)


===============------------=================

No comments:

Post a Comment

Berikan Kritik dan Saran Anda