Koreksi Untuk Pendidikan Indonesia
Rekan guru dan pembaca Yang saya hormati berikut saya posting satu lagi tulisan teman dekat saya yang dirasakan perlu untuk menjadi catatan kita sebagai pendidik atau "guru" atau dosen di perguruan tinggi..
Ini pendapatnya :
"Dr. Keba Moto seorang dosen di Departemen Fisika UI Jakarta dalam paparannya pada seminar Internasional yang diselenggarakan oleh Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, UIN Jakarta pada beberapa tahun yang lalu (2010) mengatakan ;
"
Seandainya ilmuwan di negara negara maju berhenti berinovasi dan ilmuwan di Indonesia berlari mengejar ketertinggalannya, dalam 200 tahun ilmuwan Indonesia tidak akan manpu mengejar"
Saya menjadi penasaran dengan pernyataan ini. Saya ingat Beberapa poin yang dipaparkan dan alasannya, doktor fisika lulusan Jerman ini adalah :
-
Pendidikan di Indonesia salah arah: seperti
1. Kita terbius dengan raihan segelintir mahasiswa /pelajar kita yang meraih juara di event Olimpiade-olimpiade. Prestasi itu hanyalah prestasi segelintir kecil mhs/pelajar kita. dan itu tidak merepresentasikan keadaan sebenarnya kondisi intelek mhs/pelajar kita umumnya. {silahkan amati siapa dan dari golongan mana mhs/pel yang berprestasi itu ? (penulis)}. Pemerintah jajaran pendidikan menyiapkan dana yang besar dan pengajarnya menjadi sibuk menyiapkan dan mengarahkan agar anak didiknya (yang segelintir itu) berjaya di olimpiade, dan (hampir) melupakan dana & perhatian untuk (mayoritas) anak didik yang harus diarahkan ke bakatnya yang riil.
Selanjutnya Dr Keba Moto menjelaskan, umumnya orang Indonesia inteleknya kurang. Sebenarnya yang berbakat sebagai intelek pemikir inovasi-meneruskan pendidikan ke jenjang akademik (S1, S2, apalagi S3) hanyalah sedikit. Sebenarnya mereka kurang cocok melaju ke pendidikan akademik tersebut. Sebenarnya mereka cocok ke jenjang kejuruan (vokasional), sebenarnya kebanyakan orang Indonesia kurang berbakat ke ranah akademik, beda kondisinya dengan umumnya rakyat Jerman.
Hanya sistem pendidikan Indonesia lah yang membuat mereka melaju ke S1,S2, dan S3. Lulusan itu, yang katanya sebagai "Pemikir akademik, konseptor-innonavator. Jika mereka benar sebagai pemikir-inovator, mana Buktinya ? Innovasi apa yang sudah dihadirkan bagi bangsa ini ?
2. Salah arah kebijakan pembangunan, Indonesia pernah dibawa ke "High Tech" minded, meniru negara negara yang sudah maju, sampai didirikan Industri Pesawat Terbang. Materi dan metode pendidikan pun demikian tidak mencermintan kondisi sarana pendidikan dan potensi orang Indonesia yang riil/ada. Di bidang pendidikan fisika sebenarnya kita dapat melakukan analisis kandungan besi pada suatu tanah di pedesaan dengan alat sederhana, belum perlu mangadakan/membeli alat yang canggih yang belum mahir digunakan oleh orang Indonesia. Terbukti industri high tech tersebut tidak tercapai. Dr Keba Moto menulis puisi :
"
Maksud hati Mengkonsumsi Keju, Singkong yang ada dibuang jauh.
Keju tidak didapat singkong pun tidak ada".
Terbukti di akhir tahun 1990an terdengar kekurangan makan di berbagai daerah Indonesia.
(Penulis sebagai pengajar di sekolah pertanian cukup merasakan
mindset orang-orang Indonesia pada tahun 1980an berubah dari tahun sebelumnya. Dulu jika anak sekolah ditanya mau jadi apa ? Mereka menjawab (kebanyakannya) Ingin menjadi "Insinyur Pertanian", dan pemerintahpun berpihak demikian Presiden sering berkunjung dan melakukan aktivitas di pedesaan.
Acara siaran pedesaan di TV dan Radio sangat gencar. Hasilnya pada tahun 1984 Indonesia Surplus produksi padinya (swasembada). Makanan/pangan berlimpah, termasuk daging ayam menjadi terjangkau oleh masyarakat umumnya. Jika anak Indonesia sekarang ditanya mau jadi apa ? tidak lagi menjawab "Petanian", pasti jawabnya yang lain. Mulai akhir tahun 1980a keberfihakan pemerintah juga terasa sangat kurang kepada dunia pedesaan/pertanian,
Dr. Keba Moto, menjelaskan Jepang pada saat bangkit dari kehancuran dan kekalahan perang Dunia ke II dan hancur mentalnya, dan dua kotanya di bom atom. Kebangkitan jepang (Restorasi Meizi) diawali
bukan dengan cara menata pendidikan akademik, tetapi mendirikan sekolah kejuruan (vokasional) dengan penanaman etos kerja, sehingga pembangunan jepang dimotori oleh ahli-ahli praktisi yang disiplin waktu, bukan oleh ahli ahli teoritis akademik. Hanya sedikit orang Jepang yang dibolehkan melaju ke jenjang pendidikan akademik S1, S2, S3 dengan melalui persyaratan intelektual yang ketat.
Melihat etos kerja dan kondisi karakter bangsa Indonesia dibandingkan dengan di Jerman inilah yang membuat Dr Keba Moto menyatakan 200 tahun tidak cukup untuk mengejar ketertinggalan.
(Penulis: Indonesia dibanjiri produk industri hi-tech sampai produk tradisional/pertanian). Akademisi Hi-tech kita hanya menjadi corong "Marketing Agent/salers" produk negara lain. Mereka menggelar seminar-seminar, mempertunjukkan kegunaan dan manfaat Hi-tech. Tidak disadari mereka itu hanyalah sedang menjadi "Sales" promosi produk Hi-tech orang/Negara lain, karena seminarnya hanya membicarakan pentingnya Hi-Tech dan cara mengoperasikannya. Sangat sering terdengar "pentingnya penguasaan IT dalam bekerja; Tidak boleh gagap IT". Akan tetapi, jarang sekali terdengar "Mari membuat/memproduksi alat IT". Teman penulis pun, dosen dan mahasiswanya baru bisa mendemokan dan mempraktekkan/melatih pemuda di beberapa desa untuk "Merakit alat elektronik". Belum dapat membuat chip-chip, komponen semi conductor.
Konon kabarnya, Malaysia sudah memiliki Lembah-Silicon tempat memproduksi komponen alat IT tersebut. Jangankan oleh negara maju di Eropa dan Amerika, oleh adik kita pun (Malaysia) kita agak tertinggal. Sekarang kita tidak perlu malu malu belajar dari negara jiran ini dalam beberapa hal. Saya pernah melihat di salah satu kampus di Selangor ada slogan dipampang "Kenapa kita bekerja sambil merokok?". slogan untuk meningkatkan kinerja.
Etos kerja yang ditanamkan oleh Jepang dalam kebangkitan Restorasi kepada bangsanya/rakyatnya sulit ditiru oleh kita. Seyogianya etos kerja ini ditanamkan sejak di saat pendidikan. Akan tetapi jajaran pendidik kita yang justru memberikan contoh yang tidak menunjang.
Penulis diangkat sebagai PNS di jajaran Kemendagri, di Dinas Daerah. Pagi pagi seluruh pegawai harus ikut apel sebelum pk. 7 (pk. 6.45). Hanya 10-15 menit apel dipimpin oleh unsur pimpinan. Sebelum pulang pk 13.45 apel pulang (6 hari kerja). Pegawai yang pagi pagi tertinggal apel tidak bisa masuk barisan. Jangankan tidak masuk kerja, Pegawai yang tertinggal apel saja sudah merasa salah dan merasa malu oleh rekan dan apalagi oleh atasan.
Kemudian pada pertengahan 1980an penulis mutasi ke Lembaga Pendidikan Tinggi milik Pemda. masih di jajaran Depdagri. Sama dengan di Dinas, tenaga pendidik (dosen), tenaga kependidikan, dan mahasiswa (hanya hari Senin) harus apel pagi, dan siangnya apel sebelum pulang (dosen dan pegawai kependidikan).
Pagi pagi setelah apel dosen yang tidak terjadwal ke kelas melakukan pekerjaan tambahan (sebagai wadek, Kepala laboratorium/perpustakaan/studio/greenhouse/kebun praktek, dll.) Dosen yang tidak mendapat tugas tambahan melakukan apa saja di meja kerjanya (hadir pagi meskipun tidak ada jadwal ke kelas). Itu etos kerja dosen di PT milik Pemda (Depdagri), cara kerja itu dilihat oleh mahasiswa dan mahasiswa pun mudah mendapatkan pelayanan karena dosen ada hadir sejak pagi.
Dengan sistem kerja demikian, penulis merasa dan melihat produktivitas PT di lingkup Depdagri itu lebih baik dari PT di lingkup Kemendikbud. Tingkat kelulusan tinggi sekali, lulus tepat waktu, pembimbingan akademik sangat intensif, kualitas lulusan sangat baik (trampil sejak lulus, siap kerja bukan siap latih). Karakter mahasiswa dan lulusan terlatih di kampus dengan melihat karakter civitas akademika di kampus.
Pada pertengahan tahun 1980an itu sudah mulai ada bantuan tenaga dosen (istilahnya dosen DPK) dari lingkup Kemendikbud. Mulailah banyak dosen dengan status pegawai (non Depdagri). Ternyata cara hadir kerjanya berbeda, mereka tidak hadir apel pagi, demikian juga apel siang, mereka hanya datang pada saat ada jadwal masuk tugas kuliah. Mereka berkilah, tugas kami mengajar., dan untuk mengajar yang baik "katanya" kami harus baca buku, menbuat persiapan mengajar dll. yang dapat/harus dikerjakan di luar kampus/Kantor. Meskipun di Sk nya DPK penuh di PT itu. Mereka menambahkan di PT negeri tempat kamu kuliah dulu pun demikian cara kerjanya. Mulailah dosen2 dari lingkup Depdagri yang tidak mendapat tugas tambahan terpengaruh meniru dosen DPK tersebut.
Tahun 2002 penulis mutasi ke kementerian lain di tempat sekarang berkhidmat. Hanya beberapa bulan kemudian penulis mendapat tugas tambahan sebagai
Lower Management di suatu program studi. Kebiasaan kerja dulu masih
inherent, sering datang harus membuka kunci pintu sendiri karena petugas
cleaning service belum datang. Di PT ini pun tidak ada apel pagi atau apel siang. Apel pembinaan hanya pada tanggal 17. Mahasiswa pun datang bergelombang, datang hanya pada saat akan kuliah.
Terlihat dan terasa ada nuansa perbedaan irama kerja dan produksi kerja (kinerja) di sikap mahasiswa (sebagai produk).
Melihat kondisi inilah, Penulis "kadang-kadang" memberikan ilustrasi (mengkritik/menyalahkan Jajaran Pendidikan, bukan hanya di PT ini /tempat penulis berhidmat termasuk di PT negeri Almamater penulis, termasuk di diri penulis sendiri di manajemen yang penulis pimpin pada saat itu, di hadapan peserta penataran/pelatihan guru di manapun. Menyalahkan sistem yang sedang di pakai, "Bagaimana akan menghasilkan produk lulusan yang memiliki etos kerja yang bersemangat sejak pagi, jika jajaran pendidiknya begini, yaitu datang hanya pada saat ada jadwal ke kelas. sedang jika tidak ada jadwal berkilah melakukan "persiapan tri dharma" di luar kampus, Apa benar... wallahu 'alam.
Datang/bersemangat/bekerja di waktu pagi itu mendapat pujian dari berbagai kultur. Orang Inggris bilang '
Good beginning is a half done = awal yang baik adalah setengan kesuksesan". Ulama (nilai Islami) menyebutkan "
shobahul naum.....fakru" Tidur pagi hari hari itu mendatangkan kefakiran.
Itu kondisi sebelum di jajaran pendidikan berubah seperti sekarang ini. Sejak dicanangkannya sertifikasi dengan sistem LKD-BKD nya, dan apalagi dengan wajib finger printnya
terjawab sudah kritik saya.
Tentu bukan karena saya mengutarakan hal itu di penataran/latihan para guru yang diselenggarakan suatu Fakultas di PT ini. Akan tetapi mungkin masukan dari Uiniversitas Indonesia atau dari Dr. Keba Moto yang berada di UI yang bicara di Kemdikbud, sehingga cara kerja di Jajaran Pendidikan berubah.
Apel pagi yang diselenggrakan di Depdagri dulu, sekarang di Jajaran
Pendidikan ada "
Finger print" ,
tujuan nya sama yaitu menghadirkan pegawai sejak pagi, bukan semata melegalkan ...Uang Makan(TUM)".
Insya Allah statement Dr Keba Moto di atas "200 tahun tidak akan terkejar" tidak akan terjadi, akan ada percepatan waktu untuk kita mengejar ketertinggalan dari negara maju."
Rekan guru sementara itu dulu postingan saya hari ini. Masih ada kritik penulis ke
jajaran pendidikan yang tidak enak di dengar oleh yang terlibat, tapi Insya Allah. kritik itu akan sama seperti berubahnya kehadiran pagi hari di kalangan dosen karena ada sistem Sertifikasi dan ....TUM dengan Finger print-nya.
Katanya penulis/rekan dekat saya itu akan membahas kekurangan di Jajaran Pendidikan di tinjau dari segi Materi bahan ajar dengan bukti filosofi alasan diantaranya : kenapa "IKIP berubah menjadi Universitas", keluar aturan "lulusan non-pendidikan dapat menjadi guru dengan +++"
Tunggu kehadiran paparan tersebut. Sementara ybs berpose dengan rekannya (Peserta Foresight for Innovation short course) di depan gedung komisi Sains dan Teknologi OKI di Islamabad. OKI memilih Pakistan karena Ilmuwan di negara ini berjaya menyiapkan berbagai rekayasa energi Atom, termasuk bom atom. dan meraih Noble Prize.
Wassalam,
=============