Belajar Meningkatkan etos Kerja
Pada Saat ini Indonesia dibanjiri produk industri hi-tech
sampai produk tradisional/pertanian. Akademisi Hi-tech kita hanyalah menjadi
corong "Marketing Agent/sales" produk negara lain.
Mereka menggelar
seminar-seminar, mempertunjukkan kegunaan dan manfaat Hi-tech. Tidak disadari
mereka itu hanyalah sedang menjadi "Sales" promosi produk
Hi-tech orang/Negara lain, karena seminarnya hanya membicarakan pentingnya
Hi-Tech dan cara mengoperasikannya. Sangat sering terdengar "pentingnya
penguasaan IT dalam bekerja; Tidak boleh gagap IT".
Akan tetapi,
jarang sekali terdengar "Mari belajar membuat/memproduksi alat IT". Teman
penulis pun, dosen dan mahasiswanya baru bisa mendemokan dan
mempraktekkan/melatih pemuda di beberapa desa untuk "Merakit alat
elektronik". Belum dapat membuat chip-chip, komponen semi conductor.
Pada tahun 1997 Malaysia sudah memiliki Cyberjaya, kawasan industry yang
dirancang akan menjadi seperti silicon valley di Amerika. Lembah-Silicon
tempat pusat trafik teknologi
informatika. Jangankan oleh negara maju di Eropa dan Amerika, oleh adik
kita pun (Malaysia) kita agak tertinggal.
Tidak heran jika pidato Obama di Universitas Cairo menyebutkan :
“Countries like
Japan and South Korea grew their economies enormously while maintaining
distinct cultures. The same is true for the astonishing progress within
Muslim-majority countries from Kuala Lumpur to Dubai. In ancient times
and in our times, Muslim communities have been at the forefront of innovation
and education….”
Kita iri dan marah
kepada Obama yang menentukan batas Timur muslim adalah Malaysia (Kuala Lumpur),
padahal kita “muslim” punya kota Meroke di sebelah Timur Indonesia (di pulau
Irian) dan Morocco di sebelah Barat (di Afrika Barat).
Kenapa Indonesia
tidak disebut-sebut oleh Obama dalam pidatonya ? Kita harus introspeksi kenapa
Barat lebih mengenal Malaysia daripada Indonesia. Demikian juga kenapa IIUM
(International Islamic University) berada di Malaysia, dan kenapa OKI
(Organisasi Konferensi Islam) mendirikan Komisi sains dan technologi-nya di
Islamabad (Pakistan).
Kebikajan
pemerintah Jepang dalam restorasi adalah mendahulukan membangun etos kerja
bukan “akademik”
Etos kerja yang
ditanamkan oleh Jepang dalam kebangkitan Restorasi kepada bangsanya/rakyatnya
sulit ditiru oleh kita. Seyogianya etos kerja ini ditanamkan sejak di saat
pendidikan. Akan tetapi kebanyakan jajaran pendidik kita yang justru memberikan
contoh yang tidak menunjang.
Pada lembaga pendidikan non
Kemendikbud (dahulu) ada yang mewajibkan apel pagi seluruh pegawai harus ikut
apel sebelum pk. 7 (pk. 6.45). Hanya
10-15 menit apel dipimpin oleh unsur pimpinan. Sebelum pulang pk 13.45 apel
pulang (6 hari kerja).
Di lembaga pendidikan tersebut Pegawai yang pagi
pagi tertinggal apel tidak bisa masuk barisan. Jangankan tidak masuk kerja,
Pegawai yang tertinggal apel saja sudah merasa salah dan merasa malu oleh
rekan dan apalagi oleh atasan.
Pagi pagi setelah apel dosen
yang tidak terjadwal ke kelas melakukan pekerjaan tambahan (sebagai wadek,
Kepala laboratorium/perpustakaan/studio/greenhouse/kebun praktek, dll.) Dosen
yang tidak mendapat tugas tambahan melakukan apa saja di meja kerjanya (hadir
pagi meskipun tidak ada jadwal ke kelas).
Itu etos kerja dosen di perguruan
tinggi non- kemendiknas/non-Kemenang, cara kerja itu dilihat oleh mahasiswa dan
mahasiswa pun mudah mendapatkan pelayanan karena dosen ada hadir sejak pagi. Karakter
mahasiswa dan lulusan terlatih di kampus dengan melihat karakter civitas
akademika di kampus.
Pada pertengahan tahun
1980an itu sudah mulai ada bantuan tenaga dosen (DPK) dari lingkup Kemendikbud.
Mulailah banyak dosen Kemendiknas. Ternyata cara hadir kerjanya berbeda, mereka
tidak hadir apel pagi demikian juga apel siang, mereka hanya datang pada saat
ada jadwal masuk tugas kuliah.
Mereka berkilah, tugas kami mengajar., dan untuk
mengajar yang baik "katanya" kami harus baca buku, membuat persiapan
mengajar dll. yang dapat/harus dikerjakan di luar kampus/Kantor. Meskipun
di Sk nya DPK penuh di PT itu.
Mereka menambahkan di PT negeri tempat
kamu kuliah dulu pun demikian cara kerjanya. Mulailah dosen2 dari PT itu, yang
tidak mendapat tugas tambahan , terpengaruh meniru dosen DPK tersebut.
Melihat kondisi ini, siapa yang salah, salah sistem yang sedang di pakai,
"Bagaimana akan menghasilkan produk lulusan yang memiliki etos kerja yang
bersemangat sejak pagi, jika jajaran pendidiknya begini, yaitu datang hanya
pada saat ada jadwal ke kelas. sedang jika tidak ada jadwal berkilah melakukan
"persiapan tri dharma" di luar kampus, Apa benar... wallahu 'alam.
Bersemangat/bekerja di waktu pagi itu mendapat pujian dari berbagai kultur.
Orang Inggris bilang 'Good beginning is a half done = awal yang baik
adalah setengan kesuksesan". Ulama (nilai Islami) menyebutkan "
shobahul naum.....fakru" Tidur pagi hari hari itu mendatangkan
kefakiran.
Itu kondisi sebelum di jajaran pendidikan berubah seperti sekarang ini. Sejak
dicanangkannya sertifikasi dengan sistem LKD-BKD nya, dan apalagi dengan wajib
finger printnya terjawab sudah kritik saya.
Tentu bukan karena saya mengutarakan hal itu di penataran/latihan para guru
yang diselenggarakan suatu Fakultas di PT ini. Akan tetapi mungkin
masukan dari Universitas Indonesia atau dari Dr. Keba Moto yang berada di UI
yang bicara di Kemdikbud, sehingga cara kerja di Jajaran Pendidikan berubah.
Apel pagi yang diselenggrakan dulu, sekarang di Jajaran Pendidikan ada "Finger
print" , tujuan nya sama yaitu menghadirkan pegawai sejak pagi,
bukan semata melegalkan ...Uang Makan".
Membina dan
meningkatkan etos kerja.
The
planned town, which officially opened in 1997, is now trying to remodel itself
as a testbed for smart city innovation (Nicole Kobie, 2016)
===============------------=================