Klasifikasi Ilmu Menurut Islam
Klasifikasi Ilmu
Berangkat dari keterbatasan potensi yang dimiliki rasio. Dalam proses pencariannya dibutuhkan pembatasan-pembatasan yang berkaitan dengan ilmu itu sendiri.
Pembatasan-pembatasan ini kita sebut sebagai klasifikasi ilmu. Pengklasifikasian ini bisa berdasarkan sifat absoluditasnya ilmu, objek yang diteliti, metode ilmu itu dihasilkan ataupun subjek dari objek
ilmu itu sendiri.
Menurut Imam al-Baqillani ilmu makhluk (yakni pengetahuan manusia) itu ada dua jenis; Pengetahuan yang bersifat pasti dan pengetahuan yang diperoleh melalui nalar akal.
Pengetahuan yang bersifat pasti itu adalah pengetahuan inderawi, pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri dan pengetahuan khabar/laporan mutawatir lebih lanjut Imam Ibnu Jawziy mengklasifikasikan ilmu dalam tiga macam. Ilmu pasti yang diperoleh secara a prioriy atau intuitif maupun secara diskursif,
Ilmu yang didapat melalui panca indera, dan Ilmu yang diperoleh lewat berita, secara mutawatir maupun perorangan.
Abu Hamid Al-Ghazali membagi ilmu menjadi empat sistem klasifikasi yang berbeda:
Pertama, berdasarkan pembedaan antara intelek teoretis dan intelek praktis, yang umumnya diterapkan pada ilmu-ilmu agama, bukan filosofis.
Kedua, pembagian pengetahuan menjadi pengetahuan huduri dan pengetahuan husuli yang didasarkan atas perbedaan tentang cara-cara mengetahui. Pengetahuan huduri terbebas dari kesalahan dan keraguan, yang memberikan kepastian tertinggi mengenai kebenaran-kebenaran spiritual.
Ketiga, pembagian atas ilmu-ilmu agama (syari`ah) dan intelektual (`aqli,yah, gayr al-syari`ah), yang didasarkan atas pembedaan sumber wahyu dan sumber akal.
Keempat, pembagian ilmu-¬ilmu menjadi fardlu ain dan fardlu kifayah, didasarkan atas perbedaan hukum keharusan dalam pencarian ilmu.
“Ilmu nonagama” masih bisa diklasifikasikan kepada ilmu yang terpuji (mahmud), dibolehkan (mubah) dan tercela (madzmum).
Sebagai contoh: ilmu sejarah bisa dikategorikan ilmu mubah; sihir dikategorikan “ilmu” tercela. Ilmu-ilmu terpuji, yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, bisa dikategorikan wajib kifayah. Misalnya; Ilmu tentang obat, matematika, politik dan kerajinan-kerajin¬an yang diperlukan oleh masyarakat.
Al-Ghazali mengklasifikasikan "ilmu agama" dalam dua kelompok: terpuji (mahmud) dan tercela (madzmum).
Dalam
Klasifikasi ilmu yang dimaksud dengan "ilmu agama tercela" adalah ilmu yang tampaknya diarahkan kepada syariah, tapi nyatanya menyimpang dari ajaran-ajarannya. Sedangkan "ilmu agama terpuji" dan dikategorikan wajib kifayah, dibagi dalam empat kelompok:
Pertama; Ilmu Ushul (dasar-dasar; yaitu: Al-Quran, Al-Sunnah, ijma' atau konsensus dan tradisi [kebiasaan] para sahabat Nabi).
Kedua; Furu`(masalah-masalah sekunder atau cabang; yaitu: masalah-masalah fiqih, etika, dan pengalaman mistik.
Ketiga; Studi-studi pengantar (qaidah, sharaf, bahasa Arab, dan lain¬-lain).
Keempat; Studi-studi pelengkap (membaca dan menerjemahkan Al-¬Quran, mempelajari prinsip-prinsip fiqih, `ilm al--rijal atau penyelidikan biografi para perawi hadis-hadis, dan lain-¬lain). Dalam hal ini, Al-Ghazali memandang ilmu yang tercakup di dalam empat ke-lompok di atas sebagai wajib kifayah.
Konsep klasifikasi ilmu yang telah dikemukakan baik oleh Imam al-Baqillani,
Ibnu Jawziy maupun al-Ghazali diatas dapat dinilai sebagai pendapat yang saling menguatkan dan melengkapi. Kesemua pandangan tersebut sangat erat kaitannya dengan pandangan hidup Islam (worldview Islam), dan sejalan dengan epistemologi
ilmu menurut Islam. Ini tentu secara tegas berbeda dengan Barat, yang tidak melibatkan Tuhan dalam kelahiran, proses dan arah pengembangan ilmunya.
Ilmu yang dikonsepsikan insan bertauhidy tentunya akan melahirkan hasil maupun karya yang sejalan dengan fitrahnya sebagai manusia. Sebagai contoh; peneliti biologi yang bertauhid tentunya tidak akan membenarkan teori evolusi sebagaimana dirumuskan oleh Darwin.
Dan satu hal terpenting, berbeda dengan peradaban lain, dalam Islam memperoleh Ilmu adalah upaya sesempurna mungkin untuk memanfaatkan potensi diri. Hal tersebut dilakukan demi mendapatkan derajat yang tinggi dihadapan Sang Khaliq.
Tilisan ini dalam rangka mendekati upaya menintegrasikan ilmu yang dipikirkan manusia dengan ajaran Islam. hal ini dikenal dengan
Islamisasi Ilmu.
Reference :
1.
Subandi, M. 2010. MicroBiology,( Development, Studies and Observation in Islamic Perspective)
Published by Remaja Rosdakarya,2010. 230 pp+xxii.
(Written in Indonesian.
1. Subandi, M, 2014. Science As Subject
of Learning in Islamic University. Journal of Islamic Education. Vol 1, number
2, December 2014 M/1436 H. The Faculty of Tarbiyyah and Teacher Training. The
State Islamic University (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung. In Collaboration
with Association of Indonesian Islamic Education Schoar. (CoAuthor : Abdelwahab
M. Mahmoud.Faculty of Agriculture, Cairo University, Egypt).
2. Subandi M, Dikayani, dan Diana. 2013. Physiological
Pattern of Leaf Growth at various Plucking Cycles Applied to Newly Released
Clones of Tea Plant (Camellia sinensis L. O. Kuntze). Asian Journal of
Agriculture and Rural Development, 3(7) 2013: 497-504
3. DSubandi, M.2012). Developing Islamic
Economic Production. Science Technology and Development. A Quarterly Journal.
Vol. 31 (4). 2012. Pakistan Council for Science and Technology. Islamabad.
4. Subandi, M, 2013. cientific and
Technological Literacy in Islamic Perspective. As Presenter and the Article in
Proceeding International Seminar on Scientific and Technological Literacy.
Presented in Bandung, 13January 2013.
1.
Ilmu Dari Sudut Rasio Klik di Sini
2. Manusia dan Penemu Ilmu Klik di Sini
3. Genesis Langit dan Bumi Klik di Sini
===========
<<<<<>>>>