Makna Intuisi Dalam Mencari Kebenaran
Intuisi, atau yang dalam istilah teknisnya disebut hads merupakan pemahaman yang diperoleh secara langsung, tanpa perantara, tanpa rentetan dalil dan susunan kata, serta tanpa melalui langkah-langkah logika satu demi satu. Artinya, ilmu ini diperoleh dari peng-ilham-an yang disebut dengan ilmu ladunni, yakni ilmu yang di dalam memperolehnya, tidak ada perantara yang menghubungkan antara jiwa dan Pencipta. Ia adalah aliran cahaya ilham yang terjadi setelah jiwa mengalami penyempurnaan (taswiyyah).
Oleh sebab itu, seseorang yang sampai pada martabat ilmu ladunni ini tidak memerlukan banyak belajar dan menderita kelelahan dalam proses pembelajaran. Ia diterima melalui pandangan batinnya atau rasa ruhaninya, yakni dzauq (ذوق), yang dialaminya secara langsung akibat penyingkapan hijab yang menyelubungi alam hakiki kandungan ilmu, yakni kasyf (كشف). Dengan kata lain, dzauq-lah yang menerima ilham dari Tuhan.
Ia berperan sebagai daya tangkap yang sekaligus merasakan kehadiran yang ditangkap. Ia berhubungan dengan qalb, sebab qalb selain sebagai esensi, juga sebagai salah satu alat dalam jiwa manusia yang berfungsi untuk memperoleh ilmu.
Selain itu, intuisi atau hads juga merupakan pemahaman langsung akan kebenaran-kebenaran agama, realitas dan eksistensi Tuhan. Bahkan dalam tingkatannya yang lebih tinggi, intuisi adalah intuisi terhadap eksistensi itu sendiri. Dengan kata lain, ketika dengan intuisi yang lebih tinggi orang menemukan wujudnya suatu realitas, “penemuan” eksistensi realitas inilah yang disebut wijdan (‘irfan), yang sebelumnya telah dikatakan mengacu kepada intuisi eksistensi.
Berkenaan dengan intuisi pada tingkat-tingkat kebenaran yang lebih tinggi, intuisi tidak datang pada sembarang orang, tetapi datang pada orang yang telah mempersiapkan diri untuk itu. Ia datang pada orang yang merenungkan secara terus menerus hakekat realitas ini.
Pemahaman langsung dan seketika yang disebutkan di atas terjadi ketika ia berada dalam keadaan baka dalam Tuhan, yaitu ketika ia memperoleh kediriannya yang lebih tinggi. Artinya, sebagai pengenalan yang merujuk kepada diri manusia khususnya dan kepada alam hakiki dan Tuhan Yang Hak, maka ilmu ini hanyalah dapat mungkin diterima oleh manusia dengan daya usaha amal-ibadah serta kesucian hidupnya—yakni dengan ke-ihsan-annya.
Prolog
Ilmu dan derivasinya muncul berulang kali dalam al-Quran dan menempati posisi kedua setelah kata tauhid. Dalam shahih Bukhari, bab ilmu (kitab al-`ilm) disandingkan dengan bab iman (Kitab al-iman). Hal ini menunjukkan betapa konsep terpenting dan komprehensif yang terkandung dalam al-Qur`an dan as-Sunnah adalah ilmu (`ilm) setelah iman. Signifikansi ini dapat dilihat dari fakta lima ayat pertama yang diturunkan dalam al-Qur`an, serta puluhan hadith nabi yang menegaskan wajibnya mencari ilmu.
Senada dengan hal ini, Franz Rosental mengungkapkan bahwa di dalam Islam ilmu menempati posisi yang tidak ada padanannya dalam peradaban atau agama lain.
Namun seiring berjalannya waktu, hegemoni dan kolonialisme menyebabkan umat Islam cenderung meniru dan mengadopsi konsep ilmu pengetahuan Barat secara buta. Kecenderungan sikap imitative ini menyebabkan kebingungan (confusition) yang berlanjut pada hilangnya identitas
. Dengan demikian, upaya membangkitkan kembali konsep ilmu dalam Islam, urgen dan krusial. Tentu saja dengan menggali dan mengembangkan konsep ilmu dalam al-Qur`an dapat dijadikan landasan bagi upaya merumuskan kerangka integrasi ilmu pengetahuan yang genuine.
Berangkat dari pemikiran ini, makalah ini mencoba mendeskripsikan konsep ilmu dalam Islam sesuai dengan al-Qur`an dan as-Sunnah. Berikut akan dikemukakan defenisi ilmu, ilmu dan kaitannya dengan pandangan hidup (worldview) ,
kebenaran sumber, metode, klasifikasi dan tujuan memperoleh ilmu dalam Islam.